
Kepercayaan tentang mitos atau fakta membelikan baju ke pacar bisa putus sudah lama beredar di masyarakat, terutama di kalangan anak muda yang sedang menjalani hubungan romantis. Entah sejak kapan tepatnya kepercayaan ini muncul, namun hingga kini masih banyak pasangan yang sungguh-sungguh mempercayainya. Mereka akan berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk membelikan pakaian sebagai hadiah ulang tahun, anniversary, atau sekadar tanda kasih sayang. Bagi sebagian orang, ini hanyalah takhayul atau kebetulan belaka. Namun bagi sebagian lainnya, pengalaman pribadi seolah memperkuat keyakinan bahwa setiap kali membelikan baju untuk pacar, hubungan mereka benar-benar berakhir.
Jika ditelusuri, akar dari mitos atau fakta membelikan baju ke pacar bisa putus sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah atau bukti sejarah yang jelas. Sebagian orang meyakini kepercayaan ini berasal dari pengaruh budaya Timur, di mana setiap benda yang diberikan dianggap membawa makna simbolis. Dalam konteks hubungan percintaan, baju bisa dianggap sebagai “pembungkus” atau “penutup” yang melambangkan sesuatu yang akan berakhir atau tertutup. Dengan kata lain, memberi pakaian diartikan secara metaforis sebagai "menutup kisah cinta". Makna simbolis inilah yang mungkin menjadi cikal bakal berkembangnya mitos tersebut di masyarakat modern.
Di sisi lain, teori lain mengatakan bahwa mitos ini muncul karena pengalaman kolektif yang kebetulan sering terjadi. Misalnya, seseorang memberikan baju kepada pacarnya, tak lama kemudian hubungan mereka kandas karena alasan lain. Kejadian serupa mungkin dialami oleh beberapa orang di lingkaran sosial yang sama, sehingga terciptalah pola keyakinan bahwa "memberi baju" adalah penyebab utama putusnya hubungan. Padahal, bisa jadi hubungan itu memang sudah renggang sebelumnya, dan pemberian baju hanyalah kebetulan yang terjadi tepat sebelum perpisahan.
Dalam pandangan psikologi, kepercayaan seperti mitos atau fakta membelikan baju ke pacar bisa putus bisa dijelaskan melalui fenomena *confirmation bias*. Ini adalah kecenderungan manusia untuk mempercayai sesuatu yang memperkuat keyakinannya, sambil mengabaikan fakta-fakta yang berlawanan. Jadi, jika seseorang percaya bahwa membelikan baju membawa sial, ia akan lebih mudah mengingat kejadian di mana hubungan putus setelah memberi baju, dan melupakan semua contoh hubungan yang tetap langgeng meskipun sering saling memberi pakaian. Dengan cara berpikir seperti itu, kepercayaan yang sebenarnya tidak rasional pun bisa terasa "benar".
Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa ada dimensi sosial dan emosional di balik mitos ini. Dalam hubungan asmara, memberi hadiah memiliki makna yang dalam. Jika hadiah itu diberikan tanpa pertimbangan atau diterima dengan perasaan yang salah, bisa menimbulkan kesalahpahaman. Ada kalanya seseorang merasa tidak nyaman atau merasa terbebani karena menerima sesuatu yang terlalu pribadi, seperti pakaian. Dari situ, bisa muncul jarak emosional, kesalahpahaman kecil, hingga pertengkaran yang akhirnya berujung pada perpisahan. Hal-hal seperti ini kemudian memperkuat persepsi bahwa membelikan baju ke pacar memang bisa menyebabkan hubungan retak.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang budaya populer, mitos ini juga berfungsi sebagai bentuk hiburan atau bahan candaan di kalangan anak muda. Banyak orang yang secara sadar tidak mempercayainya, tapi tetap menjadikannya bahan guyonan ringan. Misalnya, ketika seorang teman ingin membeli baju untuk pacarnya, yang lain akan berkata, "Hati-hati, nanti putus lho!" Candaan seperti ini menambah warna dalam dinamika pertemanan dan hubungan asmara, sekaligus memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh mitos dalam budaya modern.
Di era media sosial, kepercayaan ini bahkan kembali populer dalam bentuk meme, cerita pengalaman pribadi, dan video pendek yang menampilkan pasangan yang "putus" setelah memberi atau menerima baju. Hal ini menunjukkan bahwa mitos atau fakta membelikan baju ke pacar bisa putus tetap hidup karena terus direproduksi secara digital. Walau tanpa dasar ilmiah, ia menjadi bagian dari narasi budaya yang menarik untuk dibahas, karena menyatukan unsur humor, pengalaman pribadi, dan kepercayaan tradisional.
Pada akhirnya, apakah mitos atau fakta membelikan baju ke pacar bisa putus itu benar atau tidak, semuanya bergantung pada sudut pandang dan keyakinan masing-masing orang. Tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa pemberian pakaian memiliki pengaruh langsung terhadap kelanggengan hubungan. Sebaliknya, hubungan yang sehat bergantung pada komunikasi, kepercayaan, dan kesetiaan, bukan pada jenis hadiah yang diberikan. Jika sebuah hubungan berakhir setelah pemberian baju, mungkin bukan karena bajunya, melainkan karena masalah yang lebih dalam di antara dua orang tersebut.
Dengan demikian, mitos ini lebih tepat dianggap sebagai warisan budaya populer yang unik, bukan kebenaran mutlak. Membelikan baju ke pacar seharusnya tidak menjadi sesuatu yang ditakuti. Sebaliknya, hadiah itu bisa menjadi simbol perhatian dan kasih sayang yang tulus jika diberikan dengan niat baik. Pada akhirnya, cinta yang kuat tidak akan goyah hanya karena sepotong pakaian, dan hubungan yang rapuh tidak akan terselamatkan hanya karena menolak mempercayai mitos lama. Jadi, apakah kamu percaya bahwa mitos atau fakta membelikan baju ke pacar bisa putus itu nyata, atau hanya kebetulan yang dibesar-besarkan? Semua kembali kepada pengalaman dan keyakinan masing-masing.