
Di berbagai pelosok daerah, masih beredar cerita tentang mitos merpati mata putih yang dipercaya membawa pertanda buruk atau kesialan. Tak jarang, kehadiran burung merpati dengan ciri khas mata berwarna putih dianggap sebagai isyarat akan terjadinya kematian, kecelakaan, atau musibah besar. Keyakinan ini tidak muncul begitu saja, melainkan tumbuh dari campuran kepercayaan tradisional, cerita turun-temurun, dan pengaruh budaya lokal yang sulit dilacak asal mulanya secara pasti.
Menurut sejumlah penuturan warga di wilayah pedesaan, mitos merpati mata putih berkaitan erat dengan dunia gaib. Mereka menyebut merpati bermata putih sebagai utusan alam lain atau bahkan sebagai jelmaan makhluk halus. Jika burung ini tiba-tiba hinggap di atap rumah atau terbang mengitari pekarangan tanpa sebab jelas, warga meyakini ada “pesan” yang dibawa. Mitos merpati mata putih ini pun sering menjadi alasan seseorang segera mencari dukun atau tokoh spiritual untuk melakukan ritual tolak bala.
Seorang sejarawan budaya pernah menjelaskan bahwa mitos merpati mata putih sebenarnya bisa dilacak ke kepercayaan animisme yang berkembang sejak masa prasejarah. Dalam sistem kepercayaan tersebut, hewan sering dipandang sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia roh. Dalam konteks itu, mitos merpati mata putih tumbuh dari simbolisme warna putih yang sering diasosiasikan dengan kematian, kesucian, atau hal-hal sakral. Ketika karakteristik “mata putih” terlihat mencolok pada seekor merpati, itu memberi kesan tak biasa yang dengan cepat memicu imajinasi masyarakat.
Tak hanya di daerah tertentu saja, mitos merpati mata putih juga ditemukan dalam bentuk berbeda di wilayah lain yang banyak dikenal oleh masyarakat. Di beberapa desa di di berbagai pelosok daerah, burung ini diyakini membawa kabar duka dari alam leluhur. Sementara di Bali, mitos merpati mata putih kadang dihubungkan dengan siklus karma, dianggap sebagai pengingat bahwa ada energi tak kasat mata yang sedang “mengamati” manusia. Meski bentuk ceritanya beragam, inti dari mitos merpati mata putih tetap berputar pada gagasan bahwa hewan ini tidak boleh dianggap remeh.
Dampak dari mitos merpati mata putih pun bisa terasa secara sosial. Tak sedikit orang yang merasa ketakutan saat melihat merpati bermata putih berkeliaran di sekitar rumah. Beberapa bahkan sampai mengusir atau membunuh burung tersebut karena takut terjadi hal-hal buruk. Dalam kasus ekstrem, mitos merpati mata putih ini telah memicu diskriminasi terhadap para penggemar burung hias yang kebetulan memelihara jenis merpati dengan ciri fisik serupa. Ketakutan yang dibentuk oleh mitos ini kadang berujung pada pengucilan sosial atau konflik kecil di lingkungan tempat tinggal.
Di sisi lain, ilmuwan dan pemerhati satwa menyayangkan penyebaran mitos merpati mata putih yang tidak berdasar pada fakta ilmiah. Menurut seorang ahli ornitologi yang menolak disebut namanya, warna mata pada merpati sangat bervariasi dan ditentukan oleh faktor genetik. Mata putih atau terang pada merpati tidak ada hubungannya dengan pertanda apapun. Namun, karena mitos merpati mata putih sudah terlanjur kuat di tengah masyarakat, edukasi mengenai fakta-fakta ini sering tidak cukup untuk mengubah persepsi publik secara cepat.
Media sosial juga turut berperan dalam menyebarkan dan memperkuat mitos merpati mata putih. Beberapa video yang menampilkan merpati bermata putih hinggap di rumah duka atau lokasi kecelakaan sering dijadikan “bukti” bahwa mitos ini nyata. Padahal, tidak ada hubungan kausal antara keberadaan burung tersebut dengan peristiwa duka yang terjadi. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh narasi yang dibentuk oleh mitos merpati mata putih dalam menciptakan ilusi korelasi yang sebetulnya kebetulan belaka.
Meski demikian, sebagian masyarakat mulai mengkritisi dan mencoba melepaskan diri dari belenggu mitos merpati mata putih. Beberapa komunitas pecinta burung bahkan sengaja memelihara merpati jenis ini sebagai bentuk perlawanan terhadap stereotip negatif. Mereka menggelar pameran, edukasi publik, hingga membuat konten-konten edukatif untuk menyuarakan bahwa mitos merpati mata putih adalah warisan kepercayaan lama yang tidak relevan dengan realitas saat ini. Langkah ini bertujuan untuk membangun pemahaman bahwa keunikan fisik seekor hewan bukanlah tanda bahaya, melainkan bagian dari keanekaragaman hayati yang patut dihargai.
Akhirnya, mitos merpati mata putih menjadi contoh nyata bagaimana kepercayaan kolektif bisa memengaruhi perilaku sosial dan bahkan keputusan sehari-hari. Meski berkembang dari warisan budaya yang kaya, mitos seperti ini juga perlu dikaji ulang dengan pendekatan kritis. Di era informasi seperti sekarang, penting bagi masyarakat untuk membedakan antara warisan budaya yang bisa dilestarikan dan mitos merpati mata putih yang justru bisa melanggengkan ketakutan tanpa dasar. Mengedepankan edukasi dan dialog terbuka bisa menjadi jalan tengah untuk menjaga tradisi sambil tetap berpijak pada logika dan ilmu pengetahuan.