
Masyarakat kita terutama yang masih memegang kuat tradisi dan kepercayaan spiritual, pasti tidak asing dengan mitos daun bidara. Daun kecil berwarna hijau ini dipercaya mampu menangkal gangguan gaib, mulai dari jin hingga santet. Kepercayaan ini berkembang luas, bahkan hingga ke praktik ruqyah yang kini makin populer. Namun, benarkah mitos daun bidara ini memiliki dasar yang kuat, atau hanya sekadar warisan turun-temurun yang tak pernah diuji kebenarannya secara ilmiah?
Dalam cerita-cerita yang beredar, mitos daun bidara dikaitkan dengan banyak kejadian gaib. Misalnya, orang yang mengalami kesurupan konon bisa disembuhkan hanya dengan usapan air rendaman daun bidara. Ada juga yang percaya bahwa meletakkan daun ini di bawah bantal bisa mencegah mimpi buruk yang berasal dari gangguan makhluk halus. Saking kuatnya keyakinan ini, mitos daun bidara kerap dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menjual produk-produk spiritual dengan harga tinggi.
Tak sedikit orang yang mengaku merasakan manfaat setelah menggunakan daun bidara. Mereka yang percaya pada mitos daun bidara biasanya menyimpan daun ini di rumah, merendamnya dalam air untuk diminum atau digunakan mandi, atau bahkan mencampurnya ke dalam minyak zaitun sebagai media ruqyah. Pengalaman-pengalaman subjektif seperti ini terus memperkuat keyakinan bahwa daun bidara memang sakti. Tapi di sisi lain, sulit untuk memisahkan efek psikologis dari efek nyata dalam kasus seperti ini.
Secara historis, mitos daun bidara memang memiliki akar yang panjang, bahkan sampai ke wilayah Timur Tengah. Dalam teks-teks Islam klasik, pohon bidara (sidr) disebutkan sebagai pohon yang diberkahi. Banyak ulama mengaitkan pohon ini dengan kesucian dan perlindungan. Namun, teks-teks tersebut tidak secara eksplisit menyatakan bahwa mitos daun bidara sebagai penangkal makhluk halus adalah hal yang wajib diyakini. Ini membuat klaim-klaim spiritual terkait daun bidara menjadi lebih bersifat kultural daripada teologis.
Di sisi ilmiah, belum ada bukti konkret yang mendukung kebenaran mitos daun bidara dalam menangkal gangguan gaib. Daun bidara memang memiliki kandungan antibakteri dan antioksidan, yang membuatnya bermanfaat secara medis. Beberapa studi menyebutkan potensi daun ini untuk mengatasi luka, infeksi, dan masalah kulit. Namun, penggunaan daun bidara sebagai "pagar gaib" belum pernah dibuktikan dalam penelitian akademis yang sahih. Maka, menjadikan mitos daun bidara sebagai dasar perlindungan spiritual perlu dipertimbangkan ulang secara kritis.
Meski demikian, daya sugesti dari mitos daun bidara tidak bisa dianggap remeh. Dalam banyak kasus, seseorang yang meyakini dirinya diganggu makhluk halus bisa merasa lebih tenang setelah menggunakan daun bidara. Ini menunjukkan adanya efek plasebo yang cukup kuat. Artinya, walau secara objektif daun bidara tidak mengusir makhluk halus, keyakinan bahwa ia mampu melakukannya bisa memberikan rasa aman dan kelegaan. Di sinilah mitos daun bidara berfungsi lebih sebagai alat bantu psikologis ketimbang pengobatan spiritual yang faktual.
Perlu diakui bahwa sebagian orang menjadikan mitos daun bidara sebagai pegangan hidup. Apalagi di daerah-daerah yang masih kental dengan budaya mistis, kepercayaan semacam ini menjadi bagian dari identitas sosial. Mengkritisi mitos daun bidara kadang dianggap sebagai tindakan meragukan tradisi leluhur. Namun, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, sudah semestinya kita bisa menyeimbangkan antara kepercayaan dan logika. Keyakinan boleh dipertahankan, tetapi tak seharusnya mengorbankan akal sehat.
Fenomena komersialisasi mitos daun bidara juga makin marak. Media sosial dan toko daring dibanjiri produk berbasis daun bidara, mulai dari sabun, teh, minyak, hingga parfum spiritual. Produk-produk ini seringkali disertai klaim bombastis seperti “anti-santet,” “penangkal aura negatif,” atau “pelindung dari gangguan jin.” Dalam kasus ini, mitos daun bidara tak hanya menjadi kepercayaan, tetapi juga menjadi alat bisnis yang menguntungkan. Hal ini bisa menyesatkan konsumen, apalagi jika tidak ada edukasi yang seimbang mengenai batas antara mitos dan fakta.
Bagi sebagian kalangan, mempertanyakan mitos daun bidara bisa dianggap kontroversial. Padahal, pertanyaan semacam ini penting agar masyarakat tidak terjebak dalam pola pikir yang irasional. Percaya pada sesuatu tidak salah, tetapi memeriksa ulang dasar kepercayaan tersebut adalah hal yang bijak. Terutama jika kepercayaan itu berpengaruh terhadap cara kita mengambil keputusan dalam hidup. Maka dari itu, mitos daun bidara seharusnya tidak ditelan mentah-mentah, melainkan dipertimbangkan dengan akal, hati, dan pengetahuan.
Pada akhirnya, apakah mitos daun bidara benar-benar mampu menangkal gangguan gaib, itu kembali kepada kepercayaan masing-masing. Bagi yang meyakininya, daun bidara adalah simbol perlindungan dan kekuatan spiritual. Bagi yang skeptis, itu hanyalah tanaman biasa dengan manfaat kesehatan tertentu. Yang jelas, tidak ada salahnya untuk tetap terbuka pada dialog antara kepercayaan dan ilmu pengetahuan. Karena bisa jadi, di tengah antara mitos dan logika, ada ruang untuk pemahaman yang lebih dalam.