
Dalam kehidupan masyarakat tradisional kita, terutama di pedesaan, nilai ada sama dimakan, tak ada sama ditahan bukan hanya sekadar pepatah, tapi menjadi pedoman hidup sehari-hari. Frasa ini menggambarkan semangat kebersamaan yang tinggi, di mana semua orang saling berbagi apa yang ada, dan saling menahan diri ketika kekurangan. Namun, di tengah kehidupan modern yang serba cepat, individualistis, dan materialistis, nilai ada sama dimakan, tak ada sama ditahan perlahan mulai terpinggirkan.
Di perkotaan, hubungan antarwarga kian renggang. Orang lebih sibuk mengejar target pribadi daripada membangun ikatan sosial. Makan bersama keluarga pun menjadi hal langka, apalagi berbagi dengan tetangga. Padahal, filosofi ada sama dimakan, tak ada sama ditahan justru bisa menjadi penawar dari keterasingan modern ini. Jika nilai ini dihidupkan kembali, mungkin kita bisa lebih banyak menjumpai orang-orang yang saling menolong, bukan hanya saat bencana, tapi juga dalam keseharian.
Kita bisa mulai dari hal kecil. Misalnya, saat seseorang memasak makanan lebih, ia membaginya dengan tetangga. Ketika ada kelebihan pakaian, bukan dijual di marketplace, tapi diberikan kepada yang membutuhkan. Ada sama dimakan, tak ada sama ditahan bukan soal jumlah, tapi soal niat dan kepedulian. Prinsip ini mendorong kita untuk tidak rakus ketika berlebih dan tidak iri ketika kekurangan.
Sayangnya, kapitalisme modern mengajarkan bahwa lebih itu lebih baik, bahkan jika itu berarti orang lain kurang. Budaya menimbun barang, memamerkan kekayaan, dan menilai orang dari apa yang mereka punya membuat semangat ada sama dimakan, tak ada sama ditahan terasa asing. Namun, justru di tengah ketimpangan ini, nilai tersebut bisa menjadi penyeimbang. Ia mengajarkan solidaritas, empati, dan rasa cukup.
Pendidikan juga bisa berperan besar dalam menanamkan kembali semangat ini. Sekolah tidak cukup hanya mengajarkan akademik, tapi juga nilai hidup. Jika sejak dini anak-anak diajarkan pentingnya berbagi dan memahami bahwa ada sama dimakan, tak ada sama ditahan adalah bentuk kekuatan moral, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas, tapi juga peduli.
Media sosial bisa menjadi alat atau racun, tergantung bagaimana digunakan. Di satu sisi, ia bisa menumbuhkan kesenjangan dan gaya hidup pamer. Namun di sisi lain, ia bisa digunakan untuk menyebarkan kisah kebaikan, berbagi donasi, dan menginspirasi semangat ada sama dimakan, tak ada sama ditahan. Narasi tentang kesuksesan tidak selalu harus tentang pencapaian pribadi, tapi juga tentang seberapa banyak kita bisa bermanfaat untuk orang lain.
Nilai ada sama dimakan, tak ada sama ditahan juga bisa diterapkan di dunia kerja. Bayangkan sebuah perusahaan yang tidak hanya memikirkan laba, tapi juga kesejahteraan karyawannya. Saat untung, semua ikut merasakan. Saat rugi, semua menahan diri bersama. Ini bukan utopia. Beberapa perusahaan sosial dan koperasi sudah membuktikan bahwa model ini bisa berjalan.
Di tengah krisis global seperti pandemi atau bencana alam, kita sempat melihat kilasan nilai ini muncul kembali. Orang saling bantu, saling kirim makanan, dan saling jaga. Tapi begitu keadaan membaik, kita kembali ke mode individualistis. Artinya, nilai ada sama dimakan, tak ada sama ditahan sebenarnya tidak pernah hilang sepenuhnya. Ia hanya tertidur. Tantangannya adalah bagaimana menjadikannya bangun dan hidup permanen dalam sistem sosial kita.
Komunitas-komunitas lokal bisa menjadi agen penting dalam membangkitkan nilai ini. Arisan, kerja bakti, gotong royong, adalah bentuk konkret dari ada sama dimakan, tak ada sama ditahan. Tapi kegiatan ini makin jarang dilakukan, tergeser oleh jadwal kerja dan ritme hidup yang padat. Mungkin sudah saatnya kita menata ulang prioritas. Apakah hidup hanya soal pencapaian pribadi, atau juga soal kebersamaan?
Menghidupkan kembali nilai ada sama dimakan, tak ada sama ditahan bukan berarti anti kemajuan. Justru, ini soal bagaimana memanusiakan kemajuan. Kita bisa punya teknologi canggih, sistem ekonomi modern, dan hidup di kota besar, tapi tetap menjaga nurani sosial. Kita bisa punya rumah berpagar tinggi, tapi tetap membuka hati untuk tetangga. Kita bisa hidup dalam kompetisi, tapi tetap punya ruang untuk kolaborasi.
Jika setiap orang mulai dengan langkah kecil, mempraktikkan nilai ini dalam lingkup keluarga, pertemanan, atau komunitas, maka dampaknya akan menular. Satu aksi kebaikan bisa memicu banyak aksi lainnya. Ada sama dimakan, tak ada sama ditahan bukan hanya pepatah lama, tapi resep lama yang masih mujarab untuk mengobati retaknya relasi sosial masa kini. Masyarakat modern tidak harus menjadi masyarakat yang dingin. Dengan nilai ini, kita bisa menjadi modern dan tetap hangat.