
Di kalangan para pendaki gunung, ada satu cerita yang terus hidup dari mulut ke mulut: mitos edelweis. Bunga kecil berwarna putih kekuningan yang tumbuh di ketinggian ini tidak hanya cantik dipandang, tetapi juga sarat makna dan larangan. Konon, memetik bunga ini bisa membawa sial, kesialan yang dipercaya datang bukan karena takhayul semata, melainkan akibat mengabaikan keharmonisan dengan alam.
Mitos edelweis sering kali menjadi pembuka percakapan di tenda-tenda pendaki, terutama saat malam mulai turun dan udara mulai menggigit. Cerita-cerita tentang pendaki yang nekat membawa pulang edelweis dan kemudian tertimpa musibah seperti tersesat, jatuh sakit, hingga mimpi buruk berulang kali, menambah kesan misterius pada bunga ini. Apakah kisah-kisah itu nyata? Tidak ada yang bisa memastikan. Tapi justru di situlah daya tarik mitos edelweis berada: tak terbukti, tapi diyakini.
Bagi sebagian pendaki, mitos edelweis bukan hanya tentang larangan, tapi tentang penghormatan. Mereka percaya bahwa bunga ini adalah simbol kesetiaan dan keteguhan, karena ia mampu tumbuh dan mekar di tempat yang ekstrem—tanah berbatu, suhu dingin, dan udara tipis. Mitos edelweis menggambarkan semangat perjuangan, ketekunan, dan cinta yang tidak menyerah. Mungkin karena itu pula, banyak yang menyebutnya “bunga abadi”.
Tak sedikit yang membawa pulang edelweis sebagai bukti cinta. Dulu, dalam mitos edelweis versi klasik, seorang lelaki harus memetik bunga ini dari lereng gunung sebagai tanda cintanya kepada sang pujaan hati. Tapi zaman berubah. Kini, membawa pulang edelweis justru dianggap mencederai alam. Bahkan banyak taman nasional yang menjadikan pelestarian edelweis sebagai kampanye utama. Larangan keras diberlakukan, denda dikenakan, dan mitos edelweis kembali diperkuat sebagai cara agar bunga ini tetap hidup di habitat aslinya.
Meskipun mitos edelweis terdengar seperti dongeng lama, kekuatannya masih terasa hingga kini. Ada semacam konsensus tidak tertulis di kalangan pendaki untuk tidak menyentuh, apalagi memetik edelweis. Mereka lebih memilih mengabadikannya lewat lensa kamera atau membiarkannya tumbuh tanpa gangguan. Mitos edelweis menjadi pengingat bahwa tidak semua yang indah boleh dimiliki secara fisik. Ada hal-hal yang seharusnya hanya dinikmati dari kejauhan, sebagai bentuk rasa hormat.
Namun, tidak semua orang memercayai mitos edelweis. Beberapa menganggapnya hanya sebagai taktik konservasi belaka, dibalut cerita mistis agar lebih menggigit. Pandangan ini tentu tidak sepenuhnya salah. Kadang mitos digunakan sebagai alat untuk menanamkan kesadaran lingkungan, terutama bagi mereka yang sulit diatur lewat peraturan formal. Tapi meskipun begitu, mitos edelweis tetap berperan penting. Ia menjadi jembatan antara logika dan rasa, antara disiplin dan empati terhadap alam.
Dalam banyak forum pendakian, cerita tentang mitos edelweis kerap menjadi penutup perjalanan. Ketika seseorang berhasil mencapai puncak dan melihat hamparan edelweis tumbuh di sela-sela bebatuan, ada rasa haru yang muncul. Bukan hanya karena keindahannya, tapi karena bunga ini telah menjadi bagian dari narasi perjalanan itu sendiri. Mitos edelweis telah menciptakan ikatan emosional antara manusia dan pegunungan, tanpa perlu janji atau sumpah.
Bahkan mereka yang tak lagi mendaki pun masih menyimpan kenangan tentang mitos edelweis. Mungkin hanya berupa cerita pendek di buku harian, potret di dinding, atau sekadar obrolan ringan saat hujan turun. Tapi yang pasti, mitos edelweis telah meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus. Ia tidak hanya tumbuh di tanah tinggi, tetapi juga di ingatan dan perasaan mereka yang pernah menyapanya.
Beberapa komunitas pecinta alam kini menghidupkan kembali mitos edelweis dalam bentuk kampanye edukatif. Mereka membuat film pendek, menulis puisi, bahkan menggelar diskusi terbuka tentang pentingnya menjaga bunga ini tetap di tempatnya. Mitos edelweis menjadi alat komunikasi yang menyentuh sisi emosional, jauh lebih kuat dari sekadar peringatan larangan. Ia menyentuh rasa bangga, cinta, dan tanggung jawab terhadap alam.
Pada akhirnya, apakah mitos edelweis nyata atau tidak, itu bukan hal yang paling penting. Yang lebih penting adalah bagaimana mitos ini membentuk sikap, menciptakan kesadaran, dan menumbuhkan cinta pada lingkungan. Karena selama masih ada orang yang mendaki gunung dengan hati, selama masih ada yang menatap edelweis dengan hormat, maka mitos edelweis akan terus hidup. Ia akan terus membekas, bukan hanya di cerita-cerita pendaki, tapi di cara kita memandang alam itu sendiri.