
Masyarakat kita punya banyak kepercayaan turun-temurun yang kadang masih dipercaya meski tak terbukti secara ilmiah. Salah satunya adalah mitos unyeng unyeng 2. Dalam cerita yang sering beredar dari mulut ke mulut, anak yang memiliki dua pusaran rambut di kepala atau unyeng-unyeng disebut-sebut sebagai anak yang nakal, susah diatur, bahkan cenderung "berbeda" dari anak-anak lain. Mitos ini masih melekat kuat, terutama di kalangan orang tua dan kakek-nenek yang tumbuh di lingkungan tradisional.
Banyak yang percaya bahwa mitos unyeng unyeng 2 merupakan pertanda watak atau karakter bawaan. Anak dengan dua unyeng-unyeng dianggap lebih keras kepala, aktif, dan sulit diarahkan. Tak jarang, label ini langsung melekat begitu si anak lahir dan rambutnya mulai tumbuh jelas. Akibatnya, anak tersebut bisa jadi diperlakukan berbeda sejak dini hanya karena mengikuti prasangka dari sebuah kepercayaan yang tidak memiliki dasar ilmiah.
Meski tidak ada penelitian medis yang menyatakan bahwa mitos unyeng unyeng 2 punya kaitan dengan kepribadian atau temperamen, banyak orang tua masih menjadikannya acuan dalam memahami perilaku anak. Padahal, perkembangan psikologis dan perilaku anak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan, pola asuh, dan pengalaman hidup. Menyederhanakan kepribadian anak hanya dari pola rambut bisa berujung pada penilaian yang tidak adil dan perlakuan yang bias.
Sebagian orang mungkin melihat mitos unyeng unyeng 2 sebagai hal yang lucu atau remeh, tapi dampaknya bisa cukup serius. Bayangkan anak yang sejak kecil selalu dianggap nakal hanya karena ia punya dua unyeng-unyeng. Bisa jadi ia tumbuh dengan stigma, merasa berbeda, atau bahkan menganggap kenakalannya sebagai sesuatu yang "wajar" karena itu sudah ditentukan sejak lahir. Mitos seperti ini, tanpa sadar, membentuk pola pikir deterministik yang tidak sehat.
Di sisi lain, ada pula orang tua yang menjadikan mitos unyeng unyeng 2 sebagai alasan untuk bersikap lebih sabar. Mereka merasa anak dengan dua unyeng-unyeng memang perlu pendekatan yang berbeda. Dalam konteks ini, mitos tersebut justru bisa mendorong penerimaan yang lebih besar terhadap perilaku anak yang aktif atau tidak mudah diarahkan. Namun tetap saja, dasar dari pendekatan ini bukan pada pemahaman ilmiah, melainkan asumsi berdasarkan kepercayaan lama.
Beberapa praktisi parenting modern mencoba mengoreksi pemahaman terkait mitos unyeng unyeng 2. Mereka mendorong orang tua untuk melihat anak secara utuh, bukan dari ciri fisik yang tidak relevan dengan sifat atau perilaku. Dalam dunia psikologi, karakter anak terbentuk dari kombinasi faktor biologis dan lingkungan. Tidak ada satu pun studi kredibel yang menghubungkan jumlah unyeng-unyeng dengan kecenderungan perilaku tertentu.
Namun, kepercayaan terhadap mitos unyeng unyeng 2 tak sepenuhnya bisa disalahkan. Di banyak budaya ciri-ciri fisik sering kali dijadikan petunjuk kepribadian. Ini bagian dari budaya simbolik yang hidup sejak lama. Sama halnya seperti kepercayaan bahwa anak lahir malam Jumat memiliki aura mistis, atau bayi yang lahir dengan tanda lahir tertentu dianggap membawa keberuntungan atau sebaliknya. Mitos seperti ini sulit dihapuskan karena sudah menjadi bagian dari narasi sosial.
Media sosial kini juga turut menyebarkan dan bahkan menguatkan kembali mitos unyeng unyeng 2. Banyak konten viral yang menampilkan anak dengan dua unyeng-unyeng lalu disertai narasi nakal, lucu, atau "beda dari yang lain." Meski sebagian besar dibuat untuk hiburan, konten seperti ini tanpa sadar memperkuat stereotip. Anak-anak dengan dua unyeng-unyeng seolah-olah selalu diasosiasikan dengan kenakalan atau perilaku unik.
Orang tua zaman sekarang dihadapkan pada dilema: antara menghargai tradisi atau mengikuti pendekatan yang berbasis sains. Dalam hal mitos unyeng unyeng 2, seharusnya ada upaya untuk bersikap kritis. Menghargai warisan budaya bukan berarti menerima semuanya tanpa pertimbangan. Apalagi jika kepercayaan itu berpotensi membuat anak tumbuh dengan beban atau label yang tidak perlu.
Kesimpulannya, mitos unyeng unyeng 2 lebih dekat ke ranah kepercayaan lama daripada fakta ilmiah. Meski telah melekat kuat dalam budaya masyarakat, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung hubungan antara jumlah unyeng-unyeng dan karakter anak. Justru, pendekatan yang lebih bijak adalah mengenali anak berdasarkan pengalaman nyata, bukan prasangka. Dunia sudah berubah, dan pola asuh pun perlu mengikuti perkembangan zaman, termasuk dalam menyikapi mitos yang sudah turun-temurun seperti ini.