Oyot: Saat Mitos Cuci Piring di Rumah Pacar Jadi Tolok Ukur Kesopanan

Mitos Cuci Piring Di Rumah Pacar
Written by Kak Oyot in Mitos.

Di tengah percakapan santai di media sosial atau obrolan grup Telegram, topik ringan bisa tiba-tiba berubah menjadi perdebatan sengit. Salah satu topik yang belakangan ini sering mencuat adalah soal mitos cuci piring di rumah pacar. Aktivitas sederhana yang dulu dianggap wajar atau tidak signifikan kini berubah menjadi indikator karakter, sopan santun, bahkan keseriusan dalam hubungan. Entah dari mana awalnya, tapi mitos cuci piring di rumah pacar perlahan-lahan menjelma menjadi semacam tolok ukur moral tak tertulis, terutama bagi perempuan.

Banyak orang menganggap bahwa jika seorang perempuan bertamu ke rumah pacarnya, sudah sepantasnya ia ikut membereskan meja makan, mencuci piring, atau membantu di dapur. Jika tidak, ia dianggap “tidak tahu diri”, “malas”, bahkan “tidak layak dijadikan istri”. Semua itu berakar dari mitos cuci piring di rumah pacar yang terus berkembang tanpa henti. Masyarakat seolah lupa bahwa setiap rumah punya aturan sendiri, dan tidak semua orang nyaman jika tamu—pacar sekalipun—ikut campur dalam urusan rumah tangga.

Yang lebih aneh, mitos cuci piring di rumah pacar ini hampir selalu diarahkan pada perempuan. Jarang sekali kita mendengar pernyataan bahwa seorang laki-laki yang datang ke rumah pacarnya harus ikut menyapu halaman atau membantu memasak. Ketimpangan ekspektasi inilah yang membuat mitos cuci piring di rumah pacar menjadi bahan refleksi serius dalam isu kesetaraan gender. Ini bukan sekadar soal cuci piring, tapi soal bagaimana masyarakat menetapkan standar ganda yang tak adil.

Beberapa orang membela mitos cuci piring di rumah pacar dengan alasan bahwa itu adalah bentuk dari sopan santun dan rasa hormat kepada keluarga pasangan. Tapi ketika sopan santun hanya dimaknai sebagai kerja domestik perempuan, bukankah itu semacam jebakan budaya? Tidak ada yang salah dengan membantu, tapi jika bantuan itu berubah menjadi kewajiban moral satu pihak saja, maka mitos cuci piring di rumah pacar berubah dari kebiasaan positif menjadi tekanan sosial.

Dalam banyak kasus, mitos cuci piring di rumah pacar bahkan memengaruhi bagaimana keluarga melihat calon menantu. Ada orang tua yang langsung "klik" hanya karena melihat sang pacar anaknya sigap mengambil piring kotor dan membawanya ke dapur. Tanpa mempertanyakan apakah itu dilakukan dengan tulus atau karena merasa terpaksa. Di titik ini, mitos cuci piring di rumah pacar menjadi semacam ujian tak tertulis yang harus dilalui demi mendapatkan penerimaan.

Tidak sedikit perempuan yang merasa canggung dengan mitos cuci piring di rumah pacar, terutama ketika mereka justru diajarkan oleh keluarganya untuk tidak sembarangan ikut campur di rumah orang lain. Ini menciptakan dilema: jika membantu, takut dianggap “terlalu maju”; jika tidak membantu, takut dicap tidak sopan. Maka, mitos cuci piring di rumah pacar menempatkan perempuan dalam posisi serba salah, di mana tindakannya selalu berpotensi disalahartikan.

Di sisi lain, beberapa pasangan justru menganggap mitos cuci piring di rumah pacar sebagai sesuatu yang lucu atau bahkan absurd. Mereka sepakat bahwa kedewasaan dalam hubungan tidak diukur dari hal-hal simbolik seperti itu. Mereka lebih memilih untuk fokus pada komunikasi, nilai bersama, dan sikap saling menghargai daripada sekadar mencentang “ritual sosial” yang diwariskan tanpa konteks. Dalam relasi seperti ini, mitos cuci piring di rumah pacar kehilangan relevansinya.

Namun tak bisa dimungkiri, tekanan dari masyarakat masih kuat. Media sosial sering memperkuat mitos cuci piring di rumah pacar lewat video-video "cek calon istri", yang menampilkan perempuan sedang bantu-bantu di dapur keluarga pacarnya. Konten semacam ini, meski tampak sepele, sebenarnya memperpetuasi gagasan bahwa nilai perempuan terletak pada kesiapannya melayani. Akibatnya, mitos cuci piring di rumah pacar terus hidup dan berkembang, tanpa banyak yang mempertanyakan fondasinya.

Sebagian orang mungkin tidak ambil pusing dengan mitos cuci piring di rumah pacar, terutama jika mereka memang nyaman dan terbiasa membantu dalam konteks apapun. Tapi penting untuk menyadari bahwa tidak semua orang punya latar belakang yang sama. Tidak semua perempuan diajarkan untuk turun ke dapur saat bertamu, dan tidak semua keluarga pasangan mengharapkan itu. Jika kita terus menanamkan mitos cuci piring di rumah pacar sebagai standar sopan santun universal, kita berisiko menciptakan ketidakadilan yang terselubung.

Akhirnya, perlu ada pergeseran cara pandang terhadap mitos cuci piring di rumah pacar. Daripada menjadikannya patokan tunggal untuk menilai karakter seseorang, lebih baik kita fokus pada bagaimana pasangan saling memperlakukan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Sopan santun tidak harus diwujudkan dengan menyentuh spons dan sabun. Empati, komunikasi yang baik, dan kejujuran jauh lebih penting daripada ritual simbolik yang sering kali dipaksakan lewat mitos cuci piring di rumah pacar.




© 2025 OyotPrivacyDisclaimerContactLogin